Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman. Syekh Burhanuddin Ulakan lahir dengan nama Pono pada 1646. Ibunya bernama Nili bersuku Guci dan ayahnya Pampak dari suku Koto. Ia lahir di wilayah Pariangan, dekat Kota Padang Panjang, dan besar di wilayah Sintuk, Lubuk Alung, pesisir Sumatera Barat. Waktu itu, daerah pesisir berada di bawah pengaruh kerajaan Aceh dan ajaran Islam belum berkembang luas.
Pendidikan agama dipelajari Pono dari Syekh Abdullah Arif, pengembara Arab yang menetap di Nagari Tapakis, tak jauh dari Ulakan. Abdullah adalah murid Syekh Ahmad al-Qusyasyi, guru tarekat Syattariyah terkenal di Madinah, Arab Saudi. Setelah Abdullah wafat, Pono belajar kepada Syekh Abdurrauf al-Singkili di Singkil, Aceh.
Abdurrauf dulu berguru kepada Qushashi di Madinah. Pada 1661, ia pulang ke Singkil setahun setelah Qushashi wafat. Oman Fathurahman dalam bukunya, Tarekat Syattariyah di Minangkabau, memperkirakan Pono datang ke Singkil pada 1662 atau setahun setelah Abdurrauf mengajar di kota itu.
Suryadi, pengajar di Institute for Area Studies, Leiden University, menjelaskan, kisah tentang Syekh Burhanuddin pernah diangkat oleh Ph. S. van Ronkel, profesor kajian sastra di Leiden. Ronkel menerjemahkan manuskrip lokal Salasilah Syekh Burhanuddin dalam artikel “Het Heiligdom te Oelakan” (“Tempat Suci di Ulakan”) di jurnal Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde pada 1914.
Kecerdasan serta ketaatan Burhanuddin kepada gurunya dan diwarnai kisah keramat para guru Syattariyah.
Ketika Qushashi masih hidup, Abdurrauf sudah mendapat wasiat dari gurunya tersebut tentang kabar kedatangan calon muridnya yang berasal dari Ulakan ini.
“Ketika kamu sampai di Aceh, ada lima orang yang akan datang berguru. Salah satunya berasal dari Ulakan, yaitu Burhanuddin. Kakinya akan lebih tinggi dari tanah,” demikian bunyi wasiat Qushashi. Ketika Pono datang bersama empat rekannya pada 1662, Abdurrauf menerima permintaan mereka untuk berguru kepadanya. Ia jugalah yang memberikan nama “Burhanuddin” kepada Pono.
Burhanuddin tergolong murid cerdas dan hafal semua pelajaran. Dia juga dikenang sebagai murid yang ringan tangan. Ronkel menulis, Burhanuddin tak sungkan membantu gurunya menggembalakan kambing atau menggali kolam ikan di sekeliling masjid.
Suatu ketika Abdurrauf menguji kesetiaan para muridnya. Saat buang air besar di kakus di atas kolam ikan, ia menjatuhkan kotak kapur. Ia lalu meminta murid-muridnya mengambil kotak itu. Tak seorang pun mau menyelam ke kolam. Tapi kemudian Burhanuddin maju dan mencebur ke dalam kolam. Dia menemukan kotak tersebut tanpa peduli tubuhnya kotor.
Oman Fathurahman memperkirakan Burhanuddin berguru di Singkil Aceh selama 18 tahun lebih. Abdurrauf kemudian menyuruhnya kembali ke Ulakan untuk menyebarkan agama Islam setelah ilmunya dianggap cukup.
Burhanuddin memulai pengajaran dengan mendirikan sebuah surau (musholla) di Tanjung Medan, yang sekarang dikenal dengan nama Surau Gadang.
Kehadiran Surau Gadang merupakan bukti penerimaan masyarakat setempat terhadap agama Islam. Saat Syekh Burhanuddin membangun lembaga pendidikan di Ulakan, hanya sebagian kecil masyarakat setempat yang sudah memeluk Islam. Penduduk Minangkabau masih banyak yang menganut agama Hindu atau Buddha.
Buku Suma Oriental karangan Tome Pires menyebutkan, hingga akhir abad ke-16, hanya satu dari tiga raja Minangkabau yang sudah memeluk Islam, yakni Raja Utama di Sungai Dareh. Adapun dua raja lain, Raja Bandar dan Raja Bonjol, masih menganut agama pagan.
Karena garis perguruan dengan Syekh Abdurrauf, ajaran yang disebarluaskan Syekh Burhanuddin mengikuti ajaran tarekat Syattariyah. Tarekat ini merupakan ajaran tasawuf yang mengenalkan pemahaman agama dan interaksi dengan Tuhan melalui tingkatan ilmu kebatinan. Di dalamnya ada ritual zikir. Sejak diperkenalkan Burhanuddin, ajaran ini masih bertahan hingga kini.
Tarekat Syattariyah pernah mendapat penentangan dari ulama-ulama modernis di Sumatera Barat.
Syekh Burhanuddin tak hanya memanfaatkan surau sebagai tempat untuk mengajar agama. Ia juga menjadikan bangunan itu untuk melatih kecakapan muridnya dalam ilmu bela diri. “Siapa yang mau belajar silat, pergi ke surau. Siapa yang mau mengaji, pergi ke surau. Jadi surau itu adalah alat,” ujar ahli waris tarekat Syattariyah, Buya Hery Firmansyah Tuanku Khalifah XV.
Syekh Burhanuddin wafat pada 1704 dan mewariskan banyak karya tulis. Beberapa di antaranya kitab At-Taqrib Liyantafial Muttadi, yang berisi tentang ilmu fikih; ilmu saraf Risalah Burhaniyah; dan ilmu nahwu Al-Muqaddimah. Lalu ada kitab Al-Mufid tentang ushuluddin, Hishful Qari/Tajwidul Fatihah dan Al-‘Ulum Al-Tashdiqiyah tentang ilmu logika, serta banyak kitab tasawuf dan keutamaan amalan.
Menurut Buya Hery, Syekh Burhanuddin memiliki banyak murid. Salah satunya ulama Tuanku Mansiangan Nan Tuo di Koto Laweh, dekat Kota Padang Panjang. Seperti halnya Burhanuddin, tiap muridnya membangun surau sebagai pusat pendidikan keagamaan. Islam pun akhirnya tersebar luas hingga ke dataran tinggi yang menjadi pusat kekuasaan Kerajaan Pagaruyung.
Syekh Burhanuddin merupakan seorang penyebar agama Islam yang masuk lewat pesisir timur Pulau Sumatera melalui daerah-daerah aliran sungai dari selat Melaka. Menurut Mahmud Yunus (1983) yang mengemukakan bahwa “Pembawa Islam pertama ke Minangkabau ialah Burhanuddin Al- Kamil yang dikuburkan di Kuntu, bertanggal 610 H/1214 M. Ia datang bersama Abdullah Arif dari tanah Arab ke Aceh. Abdullah sendiri tinggal di Aceh, sedangkan Burhanuddin langsung ke Minangkabau. Tokoh yang disebut terakhir inilah yang sampai sekarang lestari dalam ingatan masyarakat Kuntu dengan nama Syekh Burhanuddin, sebagai penyebar Islam di wilayah ini”.
Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh M.O. Parlindungan. Ia menyebutkan bahwa “ada seorang panglima yang bernama Burhanuddin Al-Kamil wafat dan dimakamkan di kampung Kuntu, di tepi sungai Kampar pada tahun 610 H (1214 M.).”
Sedangkan masuknya Syekh Burhanuddin ke wilayah Kuntu diperkirakan sekitar pertengahan Abad XIII, berdasarkan sumber buku Dep. P&K. Sejarah Daerah Riau yang meyebutkan bahwa: “Pada pertengahan abad ke XIII M, dinasti Abbasiyah mengalami keruntuhan dan pusat kegiatan Islam berpindah ke Mesir di tangan raja-raja Mameluk. Pada zaman keemasan dinasti Mameluk inilah pedagang dari daerah Mesir, Maroko, Persia dan lain-lain kembali berhubungan dengan daerah Riau, khususnya Kuntu/Kampar, sebagai pusat penghasil lada/rempah-rempah. Mereka inilah yang membawa Islam masuk untuk kedua kalinya.”
Diperkirakan pada masa inilah Syekh Burhanuddin masuk dan menyebarkan Islam di daerah Kampar. Dalam perkembangannya Syekh Burhanuddin menjadikan daerah Kuntu di Kampar Kiri sebagai basis serta pusat pengembangan ajaran agama Islam. Pada saat ia datang ke Kuntu masyarakat sebahagian besar masih menganut agama Hindu-Budha. Dengan metode pendekatan yang menarik secara berangsur-angsur masyarakat kemudian menjadi tertarik untuk memeluk agama baru ini.
Dalam riwayat yang terdapat dalam Naskah Muballighul Islam (MI), Riwayat Tiga Orang Mubalig Islam yang mengembangkan Agama Islam di Aceh dan Minangkabau, karya Imam Maulana Abdul Manaf yang ditulis tahun 1930, yang mana beliau menyalin sebuah buku tua yang ia temukan di Surau Tuanku Paseban. Dalam naskah ini disebutkan tentang pendekatan yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin lewat cara “perjamuan makan” sehingga masyarakat menjadi tertarik. Melalui cara inilah secara berangsur-angsur Syekh Burhanuddin memberi pengajaran tentang Agama Islam, sehingga akhirnya dapat diterima oleh penduduk setempat.
Dalam skripsi Darusman. Syekh Burhanuddin dan Pengembangan Islam di Kuntu Kampar Kiri Abad XIII. Jurusan SKI, Fakultas Adab IAIN IB. Padang. 1994 yang didasarkan atas memori kolektif yang diwarisi oleh masyarakat Kuntu secara turun temurun, dikemukan bahwa Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan agama Islam sering mengunjungi pemuka-pemuka masyarakat.
Selain itu, bersumber dari makalah hasil penelitian Drs. Irhash A. Samad, M. Hum. Sejarah Perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat I. Diketahui bahwa Syekh Burhanuddin memiliki keperibadian yang mulia, suka menghargai orang lain tanpa pandang bulu, baik yang kaya maupun miskin, tua maupun muda. Sikap dan kepribadian ini menjadi kekuatan tersendiri untuk membuat masyarakat menerima apa yang diajarkannya.
Sekarang timbul pertanyaan, apakah tokoh Syekh Burhanuddin Kuntu sama dengan Syekh Burhanuddin di Pariaman? Karena di Pariaman kita mengenal juga seorang tokoh penyebar agama Islam yang bernama Syekh Burhanuddin. Berdasarkan sumber tertulis yang berbeda, menerangkan tentang tokoh ini. Syekh Burhanuddin Kuntu, berdasarkan dari naskah Mubalighul Islam. Sedangkan Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman bersumber dari Naskah Ulakan.
Berdasarkan makalah hasil penelitian Drs. Irhash A. Samad, M. Hum. Sejarah Perkembangan Agama Islam di Sumatera Barat I. hal 14. Menyebutkan bahwa dalam naskah MI juga dikemukakan tentang upaya pengislaman pembesar kerajaan Pagaruyung yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin, seorang ulama Arab yang bermukim dan mengembangkan Islam di Kuntu Kampar (Minangkabau Timur). Ia datang mengunjungi kerajaan Pagaruyung dalam rangka meluaskan da’wah Islam dan mengajak raja bersama keluarga kerajaan untuk masuk Islam, termasuk Basa Ampek Balai. Peristiwa ini terjadi beberapa abad sebelum kedatangan rombongan Syekh Burhanuddin Ulakan ke Pagaruyung, tepatnya pada tahun 610 H/1214 M.
Berdasarkan hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa Syekh Burhanuddin Kuntu lebih dahulu beberapa abad dari Syekh Burhanuddin Ulakan, dalam mengunjungi Kerajaan Pagaruyung untuk mengislamkan dan memperluas da’wah khususnya di Minangkabau. Jadi dimungkinkan ada dua tokoh yang memiliki kesamaan nama.
Dibutuhkan penelitian dan kajian mendalam dalam hal ini agar data-data sejarah yang ada dapat lebih valid dan konkret sehingga nantinya jaringan penyebaran agama Islam di Minangkabau pada umumnya dapat terungkap.
Pada tahun 1982, makam ini dipugar dan dibuatkan cungkup pelindungnya oleh Bidang Musjarah Kanwil Depdikbud Provinsi Riau.
Secara umum Makam Syekh Burhanuddin berada dalam kompleks areal pemakaman penduduk. Orientasi arah hadap makam adalah Utara-Selatan. Makam berada dalam areal pemakaman seluas 60 m x 60 m. Makam Syekh Burhanuddin sendiri berada dalam cungkup yang terbuat dari semen dan lantai keramik seluas 6,33 m x 7,82 m. bangunan makam (jirat) memiliki panjang 3,78 m x 1,95 m. Jirat makam ini sendiri sudah dilapisi keramik warna biru.
Nisan makam terdiri dari 2 (dua) buah batang kayu (berbentuk bulat) yang sudah membatu/memfosil. Menurut juru pelihara situs yakni Bapak Sukarno, kayu yang sudah membatu tersebut berjenis dari kayu sungkai. Ukuran nisan bagian utara adalah tinggi 1,25 m dan bagian selatan 55 cm. Sedangkan ketebalan (lebar) nisan ini keduanya relatif sama yakni sekitar 45 cm.
Pada sisi timur bangunan cungkup terdapat terdapat sebuah makam yang diyakini masyarakat sebagai makam istri Syekh Burhanuddin.
Kesuksesan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam disebabkan oleh strategi dakwah yang persuasif. Ia, misalnya, mengajak anak-anak bermain sambil menyisipkan ajaran agama.
Seperti apa yang dikatakan Haji Abdul Malik Karim Amirullah atau Buya Hamka dalam buku Ayahku berkesimpulan:
“Teranglah bahwa Syekh Burhanuddin bukanlah yang mula-mula menyebarkan Islam. Beliau adalah ulama yang menambah maju agama Islam di Minangkabau.